Mukhammad Zamzami Santri PP Mambaus Sholihin Gresik; Executive Editor Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Musik (Samā’) dalam Pandangan Para Sufi

3 min read

Deskripsi musik menjadi salah satu cara mempengaruhi jiwa untuk bisa memahami Allah. Bagi para sufi, musik bahkan dapat digunakan untuk menerangkan hal yang tidak tampak yang tidak bisa diterangkan secara ilmiah dan pasti. Ia—musik—seperti usaha menggapai sebuah kebijaksanaan yang imajinatif.

Dalam kosa kata para sufi, mendengarkan musik sebagai salah satu alat menghantarkan zikir biasa disebut dengan samā‘. Yang menjadi catatan saya, tidak ada kosakata simā’ untuk menyebut hal ini. Semua ekspresi penggunaan musik dalam tradisi tasawuf semuanya menggunakan diksi samā’.

Definisi musik atau samā‘ dewasa ini sudah mulai mengakar di mana-mana, karena itu ia mempunyai banyak nama terkait dengan letak geografis dan kultur manusia yang berbeda-beda. Masing-masing tempat mempunyai nama tersendiri, bergantung dari gaya dan diksi bahasa penduduknya. Di Jawa, misalnya, seseorang menyebut musik sebagai tembang, di Amerika disebut music, di Arab diistilahkan samā‘ atau mūsiqā, di Yunani dipahami sebagai mousike, dan sebagainya.

Secara etimologis, samā‘ berasal dari akar kata sami‘a yang berarti “mendengarkan”. Sedangkan jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris ia berarti listening, hearing, audition, audience [Lihat: al-Mawrid, 643]. Dalam al-Mu‘jam al-Wasīt, lafal al-samā‘ diartikan sebagai upaya mengindra suara indah melalui pendengaran dan juga dapat berarti al-ghinā’ (nyanyian) [Lihat al-Mu‘jam al-Wasīt, 449].

Ibn Manzūr menafsirkan al-samā‘ sebagai mendengarkan dengan saksama, menerima, dan mengamalkan apa yang telah didengarkan [Lisān al-‘Arab, Vol. 1, 623]. Sedangkan ‘Alī al-Jurjānī dalam kitabnya al-Ta‘rīfāt menyatakan bahwa kata samā‘ berarti suatu kekuatan yang ada pada saraf yang terbentang di bagian dalam lubang telinga yang melaluinya suara didengar melalui proses datangnya udara [halaman 127].

Dalam literatur tasawuf, para sufi biasa menyebut al-samā‘ sebagai usaha menyimak suara bermelodi atau musik. Mereka menekankan pentingnya samā‘ sebagai media—untuk tidak mengatakan satu-satunya media—yang bisa mempengaruhi hati. Hampir rata-rata para sufi tidak menolak lantunan suara/musik yang indah sebagai medium untuk merefleksi jiwa-jiwa kering khususnya pada fase modern pemikiran tasawuf.

Baca Juga  Nalar Logis Imam Ghazali tentang Imam vis-à-vis Nalar Irasional Atha Abu Rashta perihal Khalifah

Mereka menemukan bahwa mendengarkan untaian puisi, khususnya puisi itu berisikan khayalan cinta dan kemabukan. Itu merupakan satu cara terbaik untuk mempertinggi ekstase spiritual dan wilayah kesadaran yang lebih tinggi. [Rafīq al-‘Ajam, Mawsū‘at Mustalahāt al-Sūfīyah, 477-479].

Mengutip pendapat Junayd al-Baghdādī yang menegaskan bahwa apapun yang disediakan oleh Tuhan dalam alam semesta pada dasarnya dihukumi mubah. Ini dikarenakan mendengarkan suara merdu dan nyanyian yang indah dapat merelaksasi jiwa-jiwa kering agar lebih elastis dan dapat mencapai kebahagiaan, maka ia diperbolehkan karena suara yang indah merupakan hal terpuji [al-Qushayrī, al-Risālah, 369].

Pada tingkatan tertentu, melalui media samā‘, seorang sufi mampu menjejaki situasi takut, sedih, dan rindu yang mana hal itu dapat membuat seorang menangis, merintih, melenguh, bahkan ketiadaan (okultasi) [Rafīq al-‘Ajam, Mawsū‘at Mustalahāt, 479]. Ini menunjukkan bahwa musik menimbulkan beragam dampak psikologis, bahkan dapat menyebabkan seseorang berekstase dengan Allah.

Musik hanya mengeluarkan apa yang ada di dalam hati. Karena itu pelaku al-samā‘ disyaratkan memiliki hati yang suci, serta penuh dengan perasaan cinta dan kerinduan kepada sang kekasih [al-Suhrawardī, ‘Awārif al-Ma‘ārif, 8].

Sebagai persyaratan bagi sālik dalam menikmati samā‘, Junayd al-Baghdādī merekomendasikan tiga hal sebagai wujud persiapannya, antara lain:

Pertama adalah waktu. Seorang pendengar harus memiliki ketenangan yang sempurna, meninggalkan segala hal duniawi dengan zikir, mengaruskan konsentrasinya ke dalam satu pusat, membatasi semua kebutuhan dan keinginan, seluruh tubuhnya menjadi cita rasa dan kerinduan, dan dia ikut serta dalam mendengarkan musik;

Kedua adalah tempat, yakni suatu tempat terpencil yang bersih dan terbebas dari kebisingan, bahkan kekacauan;

Ketiga adalah individu. Yang harus dipersiapkan oleh seorang individu adalah membersihkan segala kesombongan hati.

Baca Juga  Perang Saudara Di Kota Darah

Aturan pasti lainnya yang mesti diingat: seseorang harus duduk dalam perkumpulan setelah wudlu dan memakai wewangian; pada waktu permulaan dan akhir dalam mendengarkan musik, seseorang harus menyampaikan ayat-ayat Alquran dan shalawat pada Nabi; duduk tenang; menjaga pandangan mata kepada wajah guru.

Jika seorang sālik tidak tertarik dengan nyanyian tersebut, berdoalah mohon ampun. Maka engkau perlu meninggalkan perkumpulan tersebut agar supaya tidak menganggu mereka. Jika seseorang mengalami suatu keadaan spiritual, dia akan memeliharanya dalam suatu cara di mana tidak ada satu anggota tubuhnya pun merusak hukum agama, dan tiada satu kerusakan/kerugian fisik pun menyentuhnya.

Seorang guru sufi menangkap tangan seorang murid yang sedang dalam ekstase, dan tidak akan membiarkannya keluar dari genggaman tangannya. Tanpa pengendalian, seseorang seringkali mendapatkan tarikan atau bahkan pikiran-pikiran yang bersifat liar dan destruktif. [Carl W. Ernst, Mozaik Ajaran Tasawuf, 114-119]

Melalui tahapan-tahapan yang ditempuh sālik dalam ritual samā‘ akan terbangun landasan aksiologis samā‘. Pertama, ia harus menciptakan kerinduan pada hidup abadi, karena tujuan utama samā‘ sebagai seni adalah hidup itu sendiri. Sedemikian sehingga seni bisa meneruskan tujuan Tuhan, sebagaimana Jibril yang menyampaikan berita tentang Hari Pembalasan. Seni adalah sarana yang sangat berharga bagi kebijaksanaan yang imajinatif, sehingga ia harus mengkreasi mental serta memberikan petunjuk kehidupan abadi pada manusia [Abd Wahhab Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal 125].

Kedua, pembinaan manusia. Daya magis samā‘ harus digunakan untuk menghasilkan masyarakat yang berkepribadian luhur. Dengan begitu, musik dituntut untuk mengaktualisasikan semangat juang dan mendorong keberanian atau membuat manusia berlaku sederhana, teratur, adil, dan menghormati Tuhan. Adapun sifat menyenangkan dari seni tidak lain hanya sekadar komplemen akal sehat yang berfungsi untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. [Ibid]

Baca Juga  [Review Buku] Fikih Kebangsaan Lirboyo: Buah dari Fikih dan Islam Nusantara

Ketiga, membuat kemajuan sosial. Seorang seniman adalah ‘mata’ bangsa, bahkan ia adalah nurani terdalam suatu bangsa. Dengan kekuatan kenabian, seniman dapat meninggikan bangsa dan mengantarkannya ke arah kebesaran yang lebih tinggi. [Syarif, Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan, 128]

Senada dengan pandangan Nasr yang mengatakan ada empat pesan utama yang terkandung dalam seni Islam. Pertama, mengalirkan berkah sebagai implikasi hubungan batinnya dengan dimensi spiritual Islam. Tidak bisa diingkari, seorang Muslim yang paling modern sekalipun, akan mengalami semacam ‘ketenangan psikologis’ berupa kedamaian ketika mendengarkan dengan khusyuk bacaan Alquran atau beribadah di salah satu karya besar arsitektur Islam [Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, 214].

Kedua, mengingatkan kehadiran Tuhan di manapun manusia berada. Bagi seseorang yang senantiasa ingat kepada Tuhan, seni Islam selalu menjadi pendorong yang sangat bernilai bagi kehidupan spiritualnya dan sarana untuk merenungkan realitas Tuhan (al-haqāiq). Bahkan, seni Islam yang dilandasi wahyu ilahi adalah penuntun manusia untuk masuk ke ruang batin wahyu Ilahi, menjadi tangga bagi pendakian jiwa menuju pada Yang Tidak Terhingga, dan bertindak sebagai sarana untuk mencapai pada yang Mahabenar (al-Haqq) lagi Mahamulia (al-Jalāl) dan Mahaindah (al-Jamāl), sumber segala seni dan keindahan.

Mukhammad Zamzami Santri PP Mambaus Sholihin Gresik; Executive Editor Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya