Muhammad Naufal Hakim Santri YPP Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Ampel.

Ahmad Wahib: Pembaru Muslim yang Humanis

2 min read

Pada periode 70-an muncul empat tokoh yang digadang sebagai pembaru pemikiran Islam di Indonesia. Mereka adalah Abdurrahman Wahid, Nurcholish Majid, Dawam Rahardjo, dan Ahmad Wahib. Dari keempat tokoh, mengerucut satu nama yang memiliki kegelisahan yang amat mendalam terhadap kondisi Islam dan Indonesia kala itu, dialah Ahmad Wahib.

Wahib merupakan mahasiswa eksakta Fakultas Ilmu Pasti dan Alam Universitas Gajah Mada (FIPA UGM). Lahir di Madura pada 9 Noverber 1942, dan meninggal pada 31 Maret 1973 diusia yang masih terbilang muda, yaitu 30 tahun. Dilahirkan oleh seorang ayah bernama Pak Sulaiman, tokoh masyarakat di lingkungan yang kental dengan keberagamaan dan tradisinya, namun memiliki pemikiran terbuka.

Berkat keterbukaan ayahnya, ketika tumbuh menjadi pemuda, Wahib pun menyelami rona kehidupan yang penuh keberagaman. Meski seorang Muslim, saat kuliah di Yogyakarta Wahib tinggal di asrama Katolik, yaitu Asrama Mahasiswa Realino. Pergumulannya dengan non-Muslim menjadikan Wahib memiliki pribadi yang pluralis dan toleran.

Bersama kawan-kawannya, diketuai oleh Mukti Ali, Wahib membentuk ruang diskusi yang diberi nama Limited Group, di Demangan Yogyakarta. Dalam pengantar buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, Mukti bercerita bahwa Wahib merupakan seorang pemuda yang semasa hidupnya dipenuhi dengan kegelisahan dan pertanyaan-pertanyaan perihal kebenaran.

Ketika di Yogyakarta, ada dua tokoh yang sering bertukar pikiran dengan Wahib, dialah A. R. Baswedan—tokoh Islam eks Masyumi—dan Wajiz Anwar—kala itu dosen filsafat IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Wahib memang pemuda yang memiliki pergaulan luas, karena backround-nya tersebut, menjadikan Wahib lebih mementingkan kemanusian daripada sekadar sekat-sekat perbedaan agama, ras, ataupun suku.

Setelah dari Yogyakarta, tahun 1971 Wahib hijrah ke Jakarta untuk mengikuti perkuliahan filsafat di STF Driyakarta. Selain kuliah, Wahib aktif mengikuti diskusi di rumah Dawam Rahardjo. Disinilah Wahib bertemu dengan pemuda-pemuda intelek dan progresif sekaliber Nurcholish Majid, Amidhan, Wassil, Usep Fathuddin, dan Utomo Danandjadja.

Baca Juga  Abu Zayd al-Balkhi, Pelopor Ilmu Psikologi Kognitif Abad Ke-9

Dengan intensnya pertemuan dan diskusi yang dilakukan, membuat hati Wahib semakin bergolak. Secara diam-diam Wahib menulis catatan harian terkait pikiran-pikiran “liar”-nya. Dalam catatan hariannya, berisi banyak hal, ada sanggahan Wahib terhadap pemikiran kawannya, sampai pada ide-ide yang murni muncul sebagai respons realitas sosial atas ketimpangan yang terjadi di sekeliling Wahib.

Kegemaran Wahib terhadap diskusi sangatlah besar, bahkan satu bulan sebelum meninggal ia berhasil menulis satu rancangan diskusi yang cukup kompleks. Dalam rancangan diskusi tersebut memuat berbagai persoalan yang menjadi kegelisahannya, dimulai dari masalah teologi, kebudayaan, pendidikan, sampai pembaruan pemahaman Islam.

Adapun pada pembahasan pembaruan pemahaman Islam, Wahib menyusun ke dalam 5 tema pokok; 1.) kelamahan ide pembaruan, 2.) kelemahan pada sikap eksponen-eksponen pembaruan, 3.) mencari suatu politik pembaruan, 4.) pembaruan sebagai proses kebudayaan, 5.) belajar dari kekurangan-kekurangan pembaruan terdahulu.

Dari tema-tema yang diusung perihal pembaruan pemahaman Islam, terlihat dengan jelas Wahib hendak menyusun ide pembaruannya ke dalam segmentasi gerakan politis dan kebudayaan. Di samping itu, ia ingin memberikan autokritik terhadap ragam produk pembaruan terdahulu, agar tercipta gerakan pembaruan yang murni, baru, dan kontekstual.

Selama di Jakarta, Wahib memiliki banyak kenalan baru. Wahib dikenal sebagai seorang yang humanis dan dekat dengan kaum proletar di daerah pinggiran. Ada beberapa tokoh yang mempengaruhi pandangannya tentang humanisme, salah satunya adalah Romo Mangun. Tercatat, saat di Jakarta Wahib bekerja sebagai calon reporter di Majalah Tempo sampai akhir hayatnya.

Wahib meninggal karena kecelakaan setelah pulang dari kantor Majalah Tempo di persimpangan jalan Senen Raya-Kalilio. Ada cerita berkesan ketika Wahib meninggal. Pasca-ditabrak, Wahib ditolong dan dibawa ke Rumah Sakit Gatot Subroto (RSGS) oleh sekelompok gelandangan. Merekalah orang-orang yang sangat dicintai dan dekat dengan Wahib semasa hidupnya.

Baca Juga  Perjalanan Yon Machmudi yang Akhirnya Keluar dari PKS

Cerita kehidupan Wahib mengajarkan kita tentang pentingnya menjadi seorang pribadi humanis, toleran, dan sadar akan pluralitas. Tentunya dengan memandang manusia selayaknya “manusia”, tanpa membeda-bedakan. Lebih dari itu, Wahib juga mengajarkan diantara alternatif untuk memahami Islam adalah dengan mempertanyakan “kebenaran” pemikiran Islam itu sendiri.

Dengan terus mencari kebenaran, meminjam istilah dari Wahib, maka kita dapat membedakan mana yang menjadi “Islam menurut citra manusia” dan “Islam sepanjang citra Tuhan”. Bagi beberapa orang, pemikiran Wahib sangatlah kontroversial. Namun, bagaimanapun orang menilai, pemikiran Wahib tetaplah merupakan bentuk refleksi dari kurang radikalnya pemikiran Islam kala itu. [MZ]

Muhammad Naufal Hakim Santri YPP Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Ampel.