Kabar duka meninggalnya Mas Bisri—demikian kita sering memanggil Bisri Effendy—begitu mengagetkan. Sehari sebelum wafat, Mas Bisri masih beraktifitas seperti biasa bahkan sempat menghadiri sebuah acara di Depok. Beliau wafat sehari setelah Indonesia merayakan 75 tahun kemerdekaan dalam usia 67 tahun.
Bagi generasi NU seperti saya, Mas Bisri bukan hanya teman tapi juga guru, mentor dan teman diskusi. Konsen yang dia tekuni, soal kebudayaan—terutama kebudayaan orang-orang yang terpinggirkan—menginspirasi banyak anak-anak muda NU. Dialah yang mengajarkan bagaimana melakukan penelitian dengan pendekatan ilmu sosial kritis. Segala sesuatu yang kita anggap mapan, merupakan hasil konstruksi sosial yang terus bernegosiasi. Karena hasil konstruksi maka dia bisa berubah.
Spirit berubah inilah yang terus menerus dia suarakan. Berubah membangun keadilan dan kesetaraan terutama bagi kelompok-kelompok kecil yang terpinggirkan.
Dia terus menemani kelompok-kelompok yang terpinggirkan secara kebudayaan untuk membangun negosiasi agar mempunyai posisi yang setara dan berkeadilan. Kelompok-kelompok masyarakat adat yang dipandang sebelah mata, bahkan dianggap gangguan proyek modernisasi yang harus dipinggirkan menjadi proyek intelektual Mas Bisri sampai akhir hayatnya.
Saya tidak ingat, entah kapan persisnya ketemu pertama dengan Mas Bisri. Mungkin di akhir tahun 1999. Tapi sejak saya mengenalnya, saya sama sekali tidak melihat pergeseran konsen intelektual termasuk mobilitas vertikalnya. Ketika kadernya mulai banyak yang menduduki posisi-posisi penting jabatan negeri ini, Mas Bisri tetap saja ke sana kemari mendidik anak-anak muda di berbagai daerah tentang kebudayaan.
Kader-kader intelektualnya tersebar di berbagai pelosok negeri. Tidak berlebihan kalau Mas Bisri saya katakan sebagai orang yang setia dengan ilmu pengetahuan yang dia tekuni. Bahkan, ketika dia memutuskan untuk pensiun muda dari lembaga bergengsi, LIPI, sama sekali tidak mengurangi wibawa intelektualnya.
Minat intelektualnya dia lembagakan dalam sebuah LSM bernama DESANTARA. Kalau disebut DESANTARA yang terbayang di kepala saya ya Mas Bisri meski banyak kader-kader muda ternama ada di dalamnya. DESANTARA bisa dikatakan penerjemahan dan pelembagaan konsen intelektualnya. Kader-kader muda yang didik Mas Bisri mempunyai tanggung jawab intelektual untuk merawat dan mengembangkan DESANTARA.
Meski Mas Bisri tidak pernah secara formal menjadi pengurus NU, tapi kecintaannya kepada NU dan pesantren tak bisa diragukan. Bahkan, jika pada tahun 1990-an ada gelombang intelektualisme di kalangan kader muda NU, Mas Bisri merupakan kader terbaik NU dalam bidang kebudayaan yang sulit dicari padanannya.
Akhirnya, selamat jalan Mas Bisri. Terima kasih atas teladan kesetiaanmu pada pengetahuan. Jejakmu begitu jelas.
Ciputat, 18 Agustus 2020
Rumadi Ahmad