Naufal Robbiqis Dwi Asta Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Meneladani Sifat Kepemimpinan Ibnu Bajjah

2 min read

Kritikan yang luar biasa dari Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah seringkali dinilai sebagai penyebab utama redupnya filsafat dan tradisi intelektual Islam di dunia Timur, meskipun fakta yang demikian tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Redupnya tradisi filsafat dan intelektual tersebut pada akhirnya menyebabkan krisis keilmuan pada Islam yang terjadi di dunia Timur.

Setelah peristiwa tersebut, filsafat di dunia Islam tidak bisa dikatakan sepenuhnya mati, namun justru mengalami perkembangan yang signifikan di dunia Barat. Peradaban Islam Spanyol di bawah kepemimpinan Dinasti Murabbitun dan Muwahhidun banyak melahirkan cendekiawan, filsuf, dan ilmuwan. Misalnya saja terdapat beberapa tokoh filsafat seperti Abu Hakam al-Kirmani, Ibnu Thufail (Abubacer), Ibnu Bajjah (Avempace), dan Ibnu Rusyd (Averroes).

Berbicara tentang kepemimpinan dari cendekiawan muslim di Barat, pastinya yang paling menohok adalah pemikiran dari Ibnu Bajjah yang ditulis dalam karyanya yang berjudul Tadbir al-Mutawahhid. Salah satu filosof muslim yang dikenal oleh kalangan intelektual Barat sebagai Avempace ini memiliki nama asli Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin ash-Shayigh at-Tujibi bin Bajjah. Ibnu Bajjah merupakan sebuah julukan yang berarti arti anak emas. Julukan tersebut diberikan kepadanya karena ayahnya berprofesi sebagai pedagang emas

Meskipun filosof muslim kelahiran Andalusia ini dalam sejarahnya hanya memiliki kesempatan hidup kurang lebih selama 53 tahun yakni pada 1085 sampai 1138, namun pemikirannya tentang politik dinilai sangat berpengaruh besar terhadap kehidupan setelahnya. Pemikiran politik dari Ibnu Bajjah banyak dipengaruhi oleh pemikiran politik dari al-Farabi yang ditulis dalam Al-Madinah al-Fadhilah, bahkan dapat dikatakan terdapat banyak kemiripan di dalamnya.

Adapun secara definisi, Tadbir dapat diartikan sebagai sebuah pembinaan, pengelolaan, pengaturan atau suatu perbuatan yang didasarkan pada kekuatan akal dan hanya dijumpai pada satu-satu pemakainya, yaitu manusia. Sedangkan al-Mutawahhid diartikan sebagai manusia yang telah mencapai akal aktif dan digambarkan sebagai seorang yang penyendiri. Mutawahhid juga dapat diartikan sebagai orang-orang sempurna yang hidup di daerah yang tidak sempurna. Maka dari itu Ibnu Bajjah dalam karyanya seringkali menggunakan istilah Mutawahhid daripada filsuf.

Baca Juga  Teks Agama Jangan Ditafsirkan secara Otoriter

Di dalam Tadbir Mutawahhid, Ibnu Bajjah menjelaskan bahwa seseorang harus mencapai kebijaksanaan dengan cara menyendiri. Misalnya saja seorang pemimpin yang memiliki tanggung jawab untuk mengelola negaranya harus menyendiri dan berada lebih tinggi dari masyarakatnya. Hal tersebut tidak dimaksudkan untuk menjauhkan diri dari masyarakatnya, tetapi seorang pemimpin harus menyendiri untuk melakukan perenungan terhadap dirinya sendiri.

Upaya menyendiri yang disampaikan oleh Ibnu Bajjah memiliki perbedaan dengan praktik menyendiri dari para sufi yang seringkali disebut uzlah. Meskipun seseorang dianjurkan untuk menyendiri, namun bagaimanapun juga seseorang tersebut tidak memutus hubungan sosial dengan masyarakat. Karena jika hal tersebut dilakukan, maka sama halnya dengan melakukan perlawanan terhadap fitrah manusia sebagai makhluk sosial.

Menyendiri juga dimaksudkan agar seorang pemimpin dapat menguasai dirinya dan mampu mengendalikan hawa nafsunya karena sangat tidak tepat jika seorang pemimpin mengelola masyarakat atau sesuatu yang dihadapinya tanpa terlebih dahulu mengenali dan mengontrol dirinya sendiri.

Dalam konteks ini, Ibnu Bajjah memiliki asumsi tentang tujuan dari perbuatan manusia yang dibagi menjadi tiga bagian. Pertama terdapat tujuan jasmaniyah yang dinilai sama dengan sifat hewan. Kedua terdapat tujuan rohaniah khusus yang berorientasi pada keutamaan akhlak. Ketiga terdapat rohaniah umum yang dilakukan atas dasar kepuasan akal untuk mendapatkan pengetahuan dan hubungan dengan Allah. Menurut Ibnu Bajjah, untuk menjadi al-Mutawahhid yang sempurna, seseorang harus mampu mencapai jenis ketiga.

Disamping itu, seorang pemimpin harus bisa menjadi sosok yang dapat diteladani dan dicontoh oleh orang lain. Seorang pemimpin juga ditekankan untuk fokus dalam menyusun undang-undang demi kesejahteraan masyarakat, bukan malah tenggelam dalam masyarakat tersebut.

Sebagai bukti nyata bahwa pemikiran tentang pemimpin ideal yang diberikan oleh Ibnu Bajjah tidak hanya sebatas menjadi pemikiran saja adalah kesuksesannya menjadi seorang menteri pada masa pemerintahan Dinasti Murabittun yang dipimpin oleh Abu Bakar ibnu Ibrahim al-Sahrawi. Ibnu Bajjah dinilai sukses dalam merefleksikan pemikiran-pemikirannya yang ditulis dalam Tadbir al-Mutawahhid.

Gagasan khas yang disampaikan oleh Ibnu Bajjah adalah pendapat tentang tidak diperlukannya dokter, hakim dan juga polisi dalam suatu negara. Alasannya adalah jika masyarakat mampu menerapkan nilai-nilai kepemimpinan di atas, maka masyarakat akan mampu menjaga kesehatannya sendiri tanpa membutuhkan dokter. Masyarakat juga memiliki kesadaran yang tinggi dengan adanya undang-undang, sehingga masyarakat mempunyai semangat keharmonisan dan saling menghormati.

Baca Juga  Ahli Beladiri Pun Didatangkan oleh KH Hasyim Asy'ari

Namun gagasan tentang tidak diperlukannya dokter, hakim, dan polisi tersebut sepertinya tidak relevan dan akan mengalami kesulitan jika dijalankan. Ibnu Bajjah merupakan filsuf yang sangat idealis dalam pemikiran-pemikiran politiknya yang sebenarnya pemikiran tersebut akan sangat cocok jika diimplementasikan pada zamannya sendiri.

Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan untuk kita mengambil hikmah dari pandangannya tentang pemimpin yang ideal. Sejalan dengan kondisi di era modern yang segalanya serba menggugah seseorang untuk memenuhi hawa nafsunya. Ditambah lagi permasalahan-permasalahan dalam hidup yang akan terus muncul dan berubah seiring berkembangnya zaman, menghalangi kita untuk berpikir secara logis.

Dengan kita meneladani sifat kepemimpinan dari Ibnu Bajjah tersebut, kita akan selalu ingat bahwa sejatinya kita perlu mengenali dan merenungi diri sendiri. Mengontrol hawa nafsu juga diperlukan agar kita tidak menjadi pribadi yang selalu bergantung pada materi. Disamping itu, kita juga dapat mendekatkan diri dengan Allah melalui ibadah dan berpikir dengan tenang.

Naufal Robbiqis Dwi Asta Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya