Refki Rusyadi Dosen IAIN Tulungagung Jawa Timur

“Berpolitik, sebuah Ikhtiar Mencuri Demokrasi (2)

3 min read

sebelumnya: “Berpolitik, sebuah ikhtiar… (1)

Mencuri Demokrasi dengan “politik”

Jika saja, Gus Dur tidak melangkahkan kakinya untuk merebut demokrasi dari kalangan berjas dan berdasi pada era orde baru, mungkin reformasi tidak akan meletus pada tahun 1998an. Terkesan paradox, Gus Dur adalah sosok yang lahir dari lingkungan Pesantren, tentu sebagian cara berfikirnya banyak dipengaruhi oleh khasanah pesantren yang tumbuh kembang dari dunia Timur. Idealnya, demokrasi adalah wacana yang lahir dan tumbuh kembang dari dunia Barat, Sudah sepatutnya ide dan gagasan ini juga harus lahir dari para akademisi anak negeri yang mengenyam pendidikan dari Barat pula. Pertanyaan kemudian muncul, bukankah negara ini memiliki banyak alumnus, ratusan hingga ribuan anak negeri ramai-ramai berkiblat ilmu kesana

Hingga lahirlah Soekarno dan beberapa tokoh penting perintis kemerdekaan yang kesemuanya merupakan potret alumnus dari pendidikan dunia Barat. Hemat penulis, tugas angkatan pertama (Soekarno dkk) dikira cukup dan final. Atas jasa merekalah bangsa ini dihantarkan pada pintu kemerdekaan. Kemudian Orde Baru muncul untuk melanjutkan estafet kemerdekaan. Namun faktanya, demokrasi dibungkam secara perlahan-lahan tinggal nama. Sebab orde baru membangun nepotisme dan kolusinya secara kuat. Meski banyak anak bangsa yang disekolahkan ke luar negeri saat orde baru berkuasa, namun adakah alumnus yang kita maksud tadi memberikan kesadaran kepada kita jika demokrasi sedang dipangku dan dibungkam sang penguasa ?

Atas dasar ini, penulis lebih suka menyebut Gus Dur “mencuri” demokrasi dari sang empunya (baca : Anak negeri yang bersekolah ke Eropa maupun Amerika dengan bantuan pemerintah lewat program beasiswa / scholarship ). “Mencuri” demokrasi tentu bukan hal yang mudah dan sederhana. Gus Dur butuh alat dan sarana agar tujuannya tercapai. Jauh sebelum Gus Dur mendirikan sebuah partai politik, Gus Dur sudah berpolitik secara gerakan selama memimpin ormas NU. Terhitung sejak awal kemerdekaan atau bahkan sejak era kolonial, otoritas dan panggung politik hanya dinikmati oleh sejumlah kalangan tertentu. Rakyat lebih banyak berperan sebagai korban sejarah politik penguasa ketimbang sebagai penikmat atau mungkin sekedar penonton.

Baca Juga  Peran Filsafat dalam Memahami Dunia dan Kehidupan Manusia

Ditengah lesunya kritik terhadap negara selama Orde Baru, Gus Dur “mencuri” demokrasi dengan mendirikan Pokja Forum Demokrasi (FD) di cottage Cisarua Bogor  (Tempo,: 13 April 1991) 30 tahun silam. Langkah ini adalah respon atas keprihatinan semakin kuatnya kepentingan golongan baik dari penguasa maupun kelompok masyarakat. Forum ini beranggotakan sejumlah kalangan minoritas nan plural yang mencita-citakan tegaknya laku demokrasi di negeri ini. Pembentukan FD, merupakan bentuk manuver politik Gus Dur terhadap organisasi yang baru saja dibentuk pemerintah bernama ICMI (Tabayun Gus Dur : LkiS 1998).

Menurutnya, organisasi ICMI memiliki kecenderungan sekterianistik yang memang sengaja dipelihara oleh pemerintah. Gus Dur sadar, lahirnya tandingan ICMI (baca : FD) tidak akan berdampak secara langsung kepada pemerintah, namun langkah ini adalah sebuah pesan, jika prodak keilmuan sekalipun tidak boleh dibingkai paksa oleh kekuasaan. Dalam beberapa diskusi dan seminarnya, Gus Dur sering menyindir jika ICMI hanyalah kepanjangan tangan dari pemerintah dalam hal wacana keilmuan keislaman.

Sejak tahun 80an, Gus Dur terus berjuang menyuarakan demokrasi lewat forum diskusi maupun seminarnya. Terbilang unik memang, jika seorang Gus Dur yang sejatinya putra pesantren, memiliki trah Kyai, justru sepulang dari pengembaraannya menuntut ilmu mulai dari Afrika (Mesir), Baghdad hingga melancong kebeberapa negara Eropa, malah tidak menggeluti dunia kepesantrenan atau ngopeni pondok pesantren. Gus Dur lebih akrab dikenal sebagai aktifis sosial ketimbang menjadi seorang Kyai. Meski sebenarnya kesempatan untuk mangku pesantren terbuka lebar semasa beliau mukim di Jombang. Berkat desakan Kyai Bisri Sansuri lah, akhirnya Gus Dur memutuskan pindah bersama keluarga kecilnya ke Jakarta untuk mendampingi pamannya Kyai Bisri berkhidmat kepada NU di pusat ibukota (Greg Barton : Biografi Gus Dur : 2003). Secara tidak langsung, kepindahannya ke Ibukota inilah yang menjadikan Gus Dur kemudian lebih akrab dengan wacana demokrasi.

Baca Juga  RUU PKS [2]: Perempuan Menjadi Korban Sistem Hukum

Bagi Gus Dur, melek politik adalah hak bagi semua warga negara. Gus Dur mengajarkan kita, jika politik tidak selalu harus diperankan oleh pihak kekuasaan, pihak sipil juga memiliki peran yang sama. Tentu politik yang dimaksud bukanlah politik praktis semata seperti yang diperlihatkan oleh parpol ketika mencari simpati pemilih di Indonesia tiap 5 lima tahunan itu. Politik yang ditawarkan Gus Dur menggunakan instrument moral dan kebangsaan. Praktek politik itu harus melibatkan semua unsur elemen bangsa tanpa membeda-bedakan. Orientasinya pun harus menegakkan keadilan sosial, ekonomi maupun hukum. Misi politik haruslah tranformatif dan emansipatif dalam merubah masyarakat (Majalah Prisma, Mei 1995).

Sejak terpilih menahkodai NU pada tahun 1984 an. Gus Dur menabuh genderang perang politiknya kepada kekuasaan. Meski tabuhan itu nadanya bisa pasang surut menyesuaikan realitas. Sebelum NU dinahkodai Gus Dur, pemerintah Orde Baru dengan bebas mengintervensi ormas yang lahir dari Jawa Timur ini. Meski NU hanyalah ormas, namun potensi kuantitas massanya jika diramu dengan tepat akan menjadi sebuah kekuatan tersendiri. Jika pemerintah memainkan “politik “kekuasaan, maka NU dengan jutaan jamaah dan jam’iyyahnya memerankan “politik kekuatan” di luar kekuasaan. Langkah yang dipilih Gus Dur ini dinamai dengan model politik multikratonik.

Sikap berpolitik seperti ini beliau pilih tidak lahir dari ruang kosong. Model atau pola politik seperti ini, percis pernah digunakan oleh Pangeran Diponegoro terhadap penjajahan Belanda di Jawa kala itu. Politik multikratonik adalah sebuah penegasan bahwa rakyat merupakan sebuah entitas kekuatan yang tidak bisa diperlakukan semena-mena oleh penguasa. Meski begitu, tidak secara terang-terangan pula menentang kekuasaan. Bagi beliau, perlu dibedakan antara “kekuasaan politik” dan “kekuatan politik” (Dikutip dalam buku Jejaring Ulama Milal Bizawie : 2019).

Baca Juga  Haji Bukan Hanya Bagi Orang Kaya

Masih dalam buku yang sama, keputusan membangun politik multikratonik rupanya merupakan keputusan inti muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin. Sikap ini merupakan upaya untuk merespon titik temu agama dan negara sebagai sistem baru yang akan dianut oleh bangsa sesuai dengan perkembangan zaman saat itu. Sikap politik multikratonik yang diperankan oleh massa merupakan cikal bakal terbangunnya civil society yang kemudian istilah itu kita kenal saat ini. (Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat : 2015)

laku seperti Gus Dur sangatlah unik. Beliau ditakdirkan mengemban tugas yang tidak seperti umumnya putra pesantren emban. Ada perjuangan yang harus diraih agar hasilnya bisa mengena kepada hal yang lebih luas. Argument ini bukan bermaksud menyudutkan tugas para kyai yang sudah dengan ikhlas di pojok-pojok kampung, desa, pesantren dengan tekun menyalakan lilin risalah keagamaan lewat perannya sebagai ulama. Pada konteks ini, takdir meminta Gus Dur mengambil peran yang cukup besar. Ada ruang kosong yang perlu dilengkapi sebagai bagian dari puzzle perjuangan Islam di Indonesia. Ruang kosong itu adalah politik dan demokrasi.

Cerita perjalanan hidup Gus Dur adalah suluk nya menuju ridla Tuhan. Mengambil peran sebagai nahkoda bagi jutaan umat islam di Nusantara tentu tidaklah semudah membalik kedua telapak tangan. Terlebih  Gus Dur dan NU nya hadir di tengah-tengah rezim bertangan besi. Dengan sekian perlawanannya, Gus Dur dan segenap anak bangsa akhirnya mampu menggulingkan tirani tersebut dan kembali membuat bangsa ini merdeka untuk kedua kalinya. (MMSM)

Refki Rusyadi Dosen IAIN Tulungagung Jawa Timur