Sesampai di rumah, Mim langsung mengempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. Ia menangis. Ranti menyusul kira-kira lima belas menit kemudian. Langsung masuk dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Mim.
“Maafkan aku, Mim.” Ranti memohon.
Yang diajak bicara tak menyahut.
“Mim, aku minta maaf.” ulang Ranti.
Mim mengangkat kepala, menatap wajah sahabatnya dengan raut wajah tak keruan.
“Apa maksudmu melakukan ini?” Mim menghentkan tangis. Menggantinya dengan marah.
“Maaf,” Ranti seperti kehilangan hal-hal lain untuk diucapkan. Maaf saja yang ia ingat.
“Kita bersahabat dari dulu. Kamu paling mengerti tentangku.”
“Iya maaf, aku lancang. Kukira dengan membantumu bertemu Kang Alif, akan membuatmu senang.”
“Alif itu masa lalu, Ran. Dia jejak yang harus ditinggalkan. Dihapus jika perlu.”
“Aku melihatmu tidak sungguh-sungguh ingin pergi”
“Kamu sok tahu.”
“Aku sahabatmu, Mim. Tahu kapan kamu sedih, kapan kamu bahagia.”
“Kali ini kamu keliru.”
“Iya, sekali lagi maaf. Kang Alif ingin bertemu dan mengajakmu bicara.”
Mim terdiam. Pelupuk matanya membasah. Ada danau di situ.
“Dua hari lagi akan ada tamu datang ke rumah ini. Sepupu jauh bapak, dari Semarang.”
“Perjodohan?” Ranti mendesak.
Mim tak menjawab. Sebelum danau di mata itu tumpah, ia segera menangkupkan wajahnya ke bantal kursi yang sedari tadi ia dekap. Mim tergugu.
_________________
Konon tidak ada yang kebetulan dalam hidup. Semua hal sudah diatur sedemikian rupa. Setiap gerak muncul untuk sebuah alasan. Setiap kejadian adalah isyarat dan pertanda bagi kehidupan umat manusia.
“Al Ghazali menolak hukum kausalitas mutlak alam raya. Sebab, itu berarti menepikan eksistensi Tuhan dalam seluruh kejadian di bumi dan di langit. Allah mengetahui segala yang universal sekaligus partikular. Api membakar kertas bukan karena daya api, tapi karena Allah. Air menenggelamkan benda-benda bukan akibat mutlak dari daya dan sifat air, tapi karena izin Allah. Jika semata karena hukum sebab-akibat, tentu tidak akan ada peristiwa Ibrahim tak mempan dibakar api dan Musa yang tidak bisa ditenggelamkan Laut Merah,” Alif menyudahi presentasinya, disambut aplaus meriah seisi ruang utama Grha Sabha Pramana Universitas Gajah Mada.
Penampilan Alif di ruang Konferensi Internasional Filsafat Islam siang itu adalah tali ikat pertama yang membuhul perasaannya dengan Mim.
“Kang Alif keren ya.” Ranti meminta persetujuan Mim untuk memuji kakak sepupunya.
“Iya. Lelaki pintar selalu menarik,” Mim merapikan jilbabnya.
“Apakah ini artinya kamu juga tertarik?” Ranti menyelidik.
Apakah ini artinya kamu ingin aku jadi sepupumu?
Ranti merengut. Mim tertawa.
Mereka berdua berjalan menyusuri Boulevard kampus yang terkenal itu. Malioboro dan Pasar Beringharjo tujuan selanjutnya. Niat utama ke Jogja kali ini adalah vakansi. Dua hari Ranti dan Mim berjalan-jalan menikmati Jogja dan segala hal menarik di dalamnya. Soal mendatangi kampus dan menjadi partisipan konferensi internasional di UGM, itu sebenarnya hanya trik marketing. Ikhtiar agar izin kepergian kepada orang tua menjadi lebih mudah dan licin. Ketemu Alif? Nah itu juga bonus. Sambil menyelam silakan minum air.
_________________
Selepas Isya’ mereka bertemu. Alif mengajak Ranti dan Mim menikmati Gudeg lesehan di Jalan Kaliurang, perempatan Kentungan. Menikmati gudeg, ceker, tempe mendoan, dan teh manis panas. Tiga muda mudi sekampung itu menikmati kebersamaan yang jarang. Alif sejak Tsanawiyah sudah meninggalkan kampung halaman. Nyantri di beberapa pesantren. Lalu memutuskan kuliah di Jogja hingga sekarang hampir lulus master di UIN Sunan Kalijaga. Mim dan Ranti di Surabaya. Mim tinggal menunggu wisuda. Ranti baru merampungkan Kuliah Kerja Nyata.
“Belum sah ke Jogja kalau belum makan gudeg. Dan belum sah makan gudeg kalau belum mencoba gudeg Prapatan Kentungan. Belum sah makan gudeg Prapatan Kentungan kalau belum mencoba mendoannya.” kelakar Alif.
“Jogja memang istimewa. Mau makan gudeg saja ada syarat sah dan syarat wajibnya. Ini mau makan gudeg apa belajar fiqh,” ledek Ranti.
Ketiganya tertawa.
Mim mengambil mendoan dari piring rotan pada detik yang bersamaan dengan tangan Alif. Ranti segera menengahi.
“Hei, ndak sopan. Belum-belum sudah mencoba main tangan,” Ranti menepuk dua tangan Alif dan Ranti. Wajah Mim memerah. Alif tergelak melihat tingkah adik sepupunya.
Lalu mereka pun makan. Di sela itu Alif bertanya kepada Ranti dan Mim tentang kabar kampung halaman, saudara, tetangga, serta remeh temeh lain.
“Besok balik jam berapa?” Alif menatap mata Mim.
“Jam 7 pagi. Dari Stasiun Tugu.” jawab Mim.
_________________
Mim dan Ranti berlari-larian menuju pintu gerbang stasiun. Mereka terlambat berangkat dari penginapan gara-gara kunci koper Ranti ketlisut entah ke mana. Sejam lebih keduanya mencari kunci yang ternyata talinya dikalungkan Ranti di leher. Untung perjalanan menuju stasiun tidak macet. Keduanya masih punya waktu beberapa menit untuk duduk sebentar, mengatur nafas yang tersengal seperti sprinter baru sampai garis finish.
Mim baru saja meletakkan tasnya di bangku tunggu saat ekor matanya menangkap sosok itu tiba-tiba ada di depannya.
“Alif?” Mim terkejut. Ranti juga.
Alif tersenyum kepada keduanya.
“Kang Alif mau ikut pulang?” Ranti terkekeh.
“Semalam aku lupa memberikan ini kepada Mim?”
“Apa itu?”
Bersambung…. (AA)