Dalam tradisi agama Kristen, istilah moderasi beragama dimaknai sebagai cara pandang dalam menengahi ekstremitas tafsir ajaran yang dipahami sebagian umat Kristen. Menurut umat Kristen, salah satu kiat agar bisa mempraktikkan moderasi beragama adalah dengan menjalin komunikasi serta hubungan baik dengan agama-agama lain dan aliran-aliran yang lain dalam internal umat beragama, sesuai dengan ajarannya, yakni agama Yesus terdiri atas cinta kasih [Allan Menzies, Sejarah Agama-agama, 475]
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Alkitab (kitab suci umat Kristen) bahwa Yesus adalah sang juru damai, tiada satupun ayat yang berisi anjuran dan ajakan dari Yesus untuk berbuat kekerasan, kerusakan atau bahkan peperangan. Justru sebaliknya, banyak ayat dalam Alkitab yang membimbing umat Kristen untuk mewujudkan kedamaian di muka bumi. Redaksi kata dalam Alkitab untuk merujuk pada konteks kedamaian antara lain: kata hak, hukum, kedamaian, mengampuni/memaafkan, keadilan, kejujuran dan kebenaran. [Ana Yuliana, Mengenal Agama-agama, 14-15]
Pandangan terhadap moderasi beragama juga terdapat dalam perspektif Gereja Katolik. Gereja menyebut dirinya sebagai “persekutuan iman, harapan dan cinta kasih”. Ketiga komponen tersebut sejatinya adalah satu kesatuan, yaitu sikap dasar orang beriman. Karena hidup manusia digerakan oleh iman, iman juga yang memberikan dasar kepada harapan, dan selanjutnya akan ditampilkan dalam bentuk cinta kasih kepada seluruh makhluk Tuhan dimuka bumi.
Dalam konteks Gereja Indonesia, hal yang paling krusial adalah bagaimana membangun jembatan yang kuat untuk menghubungkan “perbedaan” antar-agama menuju persaudaraan yang kokoh sebagai sesama warga negara. Salah satu gagasan yang tepat untuk mengatasi problem tersebut ialah dialog antar umat beragama, melalui dialog tersebut kiranya dapat memulihkan dan mewujudkan kerukunan antaragama yang kerapkali dilanda konflik. [E. Armada Riyanto, Dialog Agama, 17-18]
Istilah moderat bagi Gereja Katolik adalah suatu hal yang tidak biasa. Terdapat beberapa istilah yang sering digunakan dalam aktifitas sehari-hari mereka antara lain “terbuka” terhadap “fundamentalis” dan “tradisionalis”. Adapun hal yang paling penting dan menjadi rujukan bagi Gereja Katolik adalah Konsili Vatikan II (pertemuan hampir tiga ribu Uskup di Vatikan). Dalam konsili tersebut berisi prosesi pengesahan perjalanan panjang Gereja Katolik ke pengertian diri dan kekristenan yang lebih terbuka atau moderat.
Sedangkan dalam tradisi agama Hindu, akar ruh moderasi beragama (jalan tengah) dapat diidentifikasi hingga ribuan tahun silam. Moderasi beragama di kalangan umat Hindu terfokus pada penguatan kesadaran individu dalam mempraktikkan ajaran agama. Sebagaimana diketahui umat Hindu selama ini dalam menjalankan praktik agama lebih sering dikerjakan secara bersama-sama (komunal).
Penguatan kesadaran terhadap individu ini sangat penting agar umat Hindu tidak hanya taat dalam menjalankan praktik agama secara komunal, namun juga individual, melalui praktik-praktik meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cinta kasih, bakti dan percaya. Agama ini memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran, sebagaimana yang tercantum di kitab Weda dalam salah satu baitnya memuat kalimat sebagai berikut:
“Dalam berbagai pustaka suci Hindu, banyak terdapat sloka-sloka yang mencerminkan toleransi dan sikap yang adil oleh Tuhan. Umat Hindu menghormati kebenaran dari manapun datangnya dan menganggap bahwa semua agama bertujuan sama, yaitu menuju Tuhan, namun dengan berbagai sudut pandang dan cara pelaksanaan yang berbeda”. [Rafy Sapuri, Agama-Agama di Indonesia, 7-8]
Berkaitan dengan kasus moderasi beragama, yang terpenting dalam ajaran Hindu adalah susila, yakni bagaimana menjaga keharmonisan hubungan antar-manusia. Yang demikian itu menjadi sebab dari kesejahteraan. Kunci dari moderasi dalam setiap agama adalah kasih sayang. Kasih sayang sendiri dapat dimunculkan dalam segala aspek.
Sebagai salah satu contoh dalam agama Hindu mengenal istilah “karma”, yakni balasan perbuatan dikehidupan mendatang sesuai dengan perbuatan yang sudah dilakukan, jika seseorang melakukan perbuatan baik maka akan berguna untuk kehidupannya yang akan datang, dan bahkan akan mengantarkannya kepada tempat yang agung yaitu Nirwana (tempat yang penuh dengan kedamaian dan kebahagiaan. [Ana Yuliana, Mengenal Agama-agama, 14-15].
Secara garis besar, umat Hindu sejatinya memberikan dukungan penuh terhadap Empat Pilar Kebangsaan yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945 yang telah menjadi ketetapan MPR RI (Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia).
Esensi ajaran moderasi beragama rupanya terdapat juga dalam tradisi agama Buddha. Pencerahan Sang Buddha berasal dari Sidharta Gautama. Sidharta Gautama merupakan seorang pendiri dan guru besar agama Buddha. Ia berasal dari keluarga kerajaan, ayahnya adalah seorang raja. Sidharta Gautama mengikrarkan empat prasetya, yakni berusaha menolong semua makhluk, menolak semua keinginan nafsu kedunawian, mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma, guna mencapai Pencerahan Sempurna.
Risalah Buddha juga mengajarkan bahwa inti dari spirit agama adalah metta, yakni ajaran yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan seperti halnya toleransi, solidaritas, kesetaraan dan tanpa kekerasan, atau secara singkatnya ajaran yang berlandaskan pada cinta kasih tanpa pilih kasih. Buddhadharma merupakan sebuah kemoderatan (jalan tengah) yang merupakan aspek penting dalam spiritualitas umat Buddha, yang sangat menghindari dua kutub ekstrem, yaitu attakilamathanuyoga (penyiksaan diri) dan kamalusukhalikanuyoga (pemanjaan). [Tim Penyusun Kemenag RI, Moderasi Beragama]
Dalam tradisi agama Khonghucu juga terdapat kebiasaan moderasi dalam beragama. Umat Khonghucu yang beriman dan luhur (junzi) mempunyai cara pandang sendiri terhadap kehidupan di dunia ini, cara memandang mereka terhadap kehidupan adalah yin yang. Yin yang adalah suatu bentuk keseimbangan dalam pemikiran dan spiritualitas, tidak berat sebelah, atau bisa juga dimaknai sebagai jalan tengah (moderat).
Sikap tengah dalam agama Khonghucu merupakan sikap yang diwariskan oleh para raja suci, seperti halnya nabi purba dan tokoh-tokoh suci yang lain, hingga pada akhirnya disempurnakan oleh Nabi Kongzi. Dalam mengambil sikap tengah bukan hanya berpegang pada satu haluan saja, tapi perlu adanya kemampuan mempertimbangkan keadaan. [Tim Penyusun Kemenag RI, Moderasi Beragama]
Begitulah landasan-landasan moderasi dalam tradisi berbagai agama yang ada di Indonesia. Pada titik ini, Negara Indonesia yang secara kodrati majemuk memiliki akar kultural yang cukup kuat, juga memiliki modal sosial yang besar, rasanya sangat cukuplah itu semua menjadi dasar acuan akan landasan moderasi beragama. [MZ]