Ulil Abshar Abdalla Pegiat Ngaji Ihya Ulum al-Din dan al-Munqidh min al-Dalal Online

Santri NU dengan “Etos Calvinis”

2 min read

Catatan sederhana ini saya buat sebagai hadiah ulang tahun untuk sahabat saya yang amat saya kagumi karena “persistensi” dan kesabarannya dalam mengejar mimpi, yaitu Kang Hamzah Sahal.Ia berulang tahun hari ini.

Pada tahun-tahun 80an dan 90an ada suatu tesis bahwa kaum santri yang punya etos berdagang dan kerja keras umumnya adalah “santri modernis”. Salah satu yang dijadikan contoh adalah santri Muhamadiyah di daerah Kota Gede Yogyakarta; wilayah yang pernah menjadi pusat penelitian antropologis sarjana Jepang yang juga bersahabat akrab dengan Gus Dur: Mitsuo Nakamura. Dari penelitian lapangan ini lahir buku Nakamura yang masyhur: “The Crescent Arises Over the Banyan Tree.”

Sementara itu, santri “tradisional” yang biasanya diasosiasikan dengan NU dianggap tidak memiliki etos berdagang sekuat kaum santri modernis. Ini, antara lain, dijelaskan secara “kultural” melalui teori Max Weber yang terkenal di Barat tentang lahirnya kapitalisme. Dalam pandangan Weber, sosiolog Jerman itu, kapitalisme lahir, antara lain (tentu ini bukan satu-satunya faktor), disebabkan oleh munculnya pandangan kekristenan tertentu yang dikembangkan oleh kelompok Calvinis. Mereka disebut demikian karena mengikuti ajaran-ajaran John Calvin yang hidup pada abad ke-16 di Geneva.

Salah satu ciri ajaran Calvin adalah: sikap ugahari (sederhana, tidak boros), kerja keras, disiplin. Seorang Kristen yang “selamat” dan akan masuk sorga, dalam pandangan Calvin, adalah mereka yang ditakdirkan (pre-destined) oleh Tuhan untuk selamat. Karena takdir Tuhan adalah misteri dan tidak dapat diketahui oleh manusia, maka yang dapat dilakukan hanyalah melihat “tanda-tanda” lahiriah.

Dalam ajaran Calvinisme, tanda-tanda orang-orang yang diselamatkan dan akan masuk sorga adalah mereka yang di dunia ini mempraktekkan apa yang oleh Weber disebut “worldy asceticism”, atau sikap zuhud-duniawi. Yang dimaksud dengan zuhud-duniawi di sini adalah sikap untuk tidak terlena dalam kenikmatan duniawi, tanpa mau kerja keras.

Baca Juga  Ujian Nasional dan Virus Corona, Analisis Dampak dan Solusinya

Orang-orang yang diridai Tuhan, dalam pandangan Calvinisme, adalah mereka yang bekerja keras dan disiplin dalam kehidupan di dunia sekarang ini. Mereka bekerja bukan untuk mencari kekayaan dan menikmati kemewahan material, melainkan sebagai upaya untuk melaksanakan sebuah “vocation” atau panggilan hidup.

Orang-orang yang mengikuti ajaran Calvinis di Eropa dan Amerika Utara (disebut juga dengan kaum puritan) memang dikenal sebagai para pedagang yang sukses, tetapi sekaligus hidup sederhana. Mereka amat “frugal” atau pelit membelanjakan kekayaan untuk kenikmatan diri-sendiri. Karena itu, tradisi menabung tumbuh subur di kalangan mereka. Inilah, menurut Max Weber sebagaimana ia tuangkan dalam karyanya yang masyhur “Die protestantische Ethik und der Geist der Kapitalismus”, yang antara lain menjelaskan lahirnya kapitalisme di Barat.

Pengaruh teori Weber ini amat populer di era 70an, 80an, dan 90an, ketika teori-teori modernisasi yang bersumber dari pengalaman di Barat masih memiliki magnet yang besar. Sejumlah ilmuwan, baik di Barat atau di luarnya, kemudian mencoba menerapkan teori itu kepada kenyataan sosial di pelbagai kawasan dunia. Mulailah dicari, kira-kira kelompok mana dalam Islam yang memiliki etos yang mirip dengan etos Calvinisme. Lalu ditemukanlah kelompok santri modernis yang dipandang punya etos serupa: mau kerja keras, disiplin, berhemat, dan gigih berdagang.

Belajar dari pengalaman di Barat, kelompok Islam yang bisa diharapkan di masa depan untuk menumbuhkan kapitalisme di dunia Islam adalah ya kelompok santri modernis itu. Kelompok santri tradisional dipandang terlalu dipengaruhi oleh akidah yang cenderung fatalistik, jabariyyah; selain pengaruh yang amat kuat dari alam pikir masyarakat agraris yang cenderung melihat waktu secara “siklis”, bukan progresif sebagaimana dalam pandangan masyarakat modern.

Baca Juga  Israel, “Etno-Demokrasi,” dan Paradoks Modernitas (2)

Teori Weber sudah kehilangan daya tariknya saat ini; mungkin yang mempercayai sepenuhnya teori ini juga nyaris tidak ada lagi. Lahirnya kapitalisme atau sistem-sistem sosial manapun tidak bisa diasalkan pada faktor-faktor yang sederhana seperti ini. Semua realitas sosial selalu kompleks, rumit, dan karena itu membutuhkan penjelasan yang kompleks pula. Teori Weber sudah tak memadai.

Lepas dari merosotnya kredibilitas teori Weber saat ini, saya ingin menyatakan bahwa ada “sedikit” kebenaran dalam teori Weber itu. Inti teori Weber sebetulnya sederhana: prilaku orang atau komunitas dalam hidup sehari-hari jelas ada kait-mengaitnya dengan corak ajaran, pandangan hidup, kosmologi yang diikuti oleh orang/komunitas bersangkutan. Jika seseorang memiliki semangat hidup yang mirip-mirip dengan “etos Calvinisme”, misalnya, maka bisa diprediksikan ia akan menjalani kehidupan yang ditandai dengan kerja keras, disiplin, tidak “ndlewer”, dan berhemat. Begitu juga sebaliknya.

Saya melihat sahabat saya Hamzah Sahal ini sebagai santri NU yang memiliki etos Calvinis: kreatif, imajinatif, mau kerja keras. Ini sudah terbukti dengan keberhasilannya mengerek Alif.id sebagai salah satu portal keislaman bergengsi dengan konten yang amat bermutu. Dia juga berhasil menjadi lokomotif yang menarik gerbong sejumlah penulis muda dari kalangam santri untuk berbondong-bondong menjadi penulis yang sukses.

Kita butuh lebih banyak lagi santri-santri NU dengan “etos Calvinis” seperti Hamzah Sahal ini. Sebetulnya etos ini sudah banyak diajarkan di pesantren-pesanteen NU melalui sebuah kitab modern karya jurnalis dan intelektual Lebanon, Musthafa al-Ghalayini, berjudul ‘Idzat al-Nasyi’in (عظة الناشئين).

Selamat ulang tahun yang ke-17 (plus sekian), Kang Hamzah!

 

Ulil Abshar Abdalla Pegiat Ngaji Ihya Ulum al-Din dan al-Munqidh min al-Dalal Online