Penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus memang seringkali menjadi sebuah dilemma dan masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu, terutama bagi pihak kampus. Ketika diusut secara tuntas dan terbuka, hal itu seakan membongkar ‘aib’ sendiri yang nanti kaitannya tercorengnya nama baik institusi; sedangkan jika tidak ditindak secara transparan, maka hal itu jelas menyalahi nilai moral, hukum dan justru seakan-akan melindungi pelaku. Simalakama, memang!
Meskipun demikian, setidaknya, kasus kekerasan seksual yang dalam beberapa tahun terakhir ini sering terjadi di kampus telah mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Misalnya, dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama No. 5494, 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).
Hal itu tentu menjadi angin segar bagi penanganan berbagai kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, khususnya PTKI. Surat Keputusan tersebut mengatur berbagai hal terkait pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual seperti tindakan yang termasuk dalam kategori kekerasan seksual sekaligus definisinya, prosedur pelaporan, pemulihan korban, serta hak-hak yang wajib diperoleh korban maupun terlapor.
Menilik secara singkat pada isu kekerasan seksual di kampus, berdasarkan survei yang dilakukan oleh tirto.id survei melalui media sosial, tercatat ada sebanyak 174 kasus terkait dengan kekerasan seksual di kampus.
Dari jumlah total pemberi testimoni tersebut, sebanyak 87 orang tidak melaporkan ke pihak manapun. Keengganan melaporkan tindak kekerasan seksual dilatarbelakangi stigma negatif terhadap korban kekerasan seksual, selebihnya karena tidak adanya sistem pelaporan yang memperhatikan isu tersebut secara serius. Sedangkan, sebanyak 29 orang yang melapor pun tidak semuanya mendapatkan solusi yang konklusif.
Fenomena kekerasan seksual di kampus serupa dengan gunung es, dan seringkali tindakannya tidak dianggap sebagai tindak kriminal. Hal ini ditambah dengan stigma negatif yang selalu menimpa korban.
Objektifikasi terutama terhadap tubuh perempuan seringkali dijadikan sebagai suatu kewajaran di masyarakat yang menganut sistem patriarki, sehingga ketika perempuan menerima bentuk kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai konsekuensi atas apa yang diperbuat maupun dipakai oleh sang korban.
Begitu pula jika terjadi terhadap laki-laki, ia akan berhadapan dengan stigma sebagai pihak yang tidak mampu membela dirinya sendiri. Perspektif ini tentu berseberangan dengan image laki-laki sebagai sosok maskulin dan kuat.
Dengan demikian, perlu integrasi dari berbagai pihak sangat diperlukan dalam upaya penanganan dan penanggulangan kekerasan seksual, tak terkecuali lembaga-lembaga berbasis agama.
Penanganan kekerasan seksual haruslah berbasis pada keadilan, dengan tanpa adanya justifikasi terhadap korban. Selain itu, pemulihan secara psikis yang amat diperlukan oleh korban mengingat trauma psikologis berdampak pada kehidupan korban tanpa mengenal jangka waktu. Yang tidak kalah penting tentunya sanksi yang menjerakan bagi pelaku kekerasan seksual dengan tetap memperhatikan hak-hak asasinya sebagai manusia.
Dalam ranah penanggulangan kekerasan seksual, langkah preventif dapat dilakukan melalui implementasi pendidikan seksual (sexual education) sejak pendidikan dini. Pendidikan seksual sudah seharusnya tidak dianggap sebagai suatu hal yang tabu, karena sejatinya asumsi yang beredar di masyarakat mengenai pendidikan seksual telah menyimpang dari yang seharusnya.
Bahkan, pendidikan seksual telah lazim ditemukan di ranah pesantren melalui pembelajaran kitab-kitab klasik seperti Risalatul Mahid, Bulughul Marom, hingga Riyadlus Sholihin. Dalam kitab Risalatul Mahid misalnya, pembahasan tidak hanya difokuskan pada tata cara bersuci dari haid, melainkan juga ketentutan-ketentuan perhitungan dan indikasi yang dapat dilihat dari proses menstruasi tersebut.
Dalam salah satu bab di kitab Bulughul Marom pengenalan alat-alat reproduksi dibahas bersamaan dengan ketentuan-ketentuan thaharah. Bahkan, kitab Riyadlus Sholihin memberikan bahasan yang lebih mendalam tentang ketentuan pergaulan antara laki-laki dan perempuan.
Pendidikan seksual yang didapat dari berbagai kitab klasik tersebut memang cukup mumpuni sebagai materi dalam pendidikan seksual. Namun, satu hal yang perlu ditambahkan adalah pentingnya mengenal otoritas tubuh baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Hal ini berkaitan dengan peletakan nilai-nilai dasar mengenai hal-hal yang boleh maupun tidak boleh dilampaui baik secara verbal maupun sentuhan secara fisik. Hal lain yang patut menjadi perhatian adalah pengajaran tersebut harus bebas dari bias gender, sehingga pendidikan seksual dapat disampaikan secara objektif. [AA]