Ali Yazid Hamdani Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

[Resensi Buku] Etika Sufi Ibnu Arabi

3 min read

Judul Buku    : Etika Sufi Ibn Al-’Arabi

Penulis           : Dr. H. Mukhlisin Sa’ad, M.Ag

Penerbit         : CV. Mandiri

Tebal               : v + 288 Halaman

Tahun Terbit : 2019

Pembahasan mengenai etika bukanlah suatu kajian yang baru, telah banyak dibahas sejak manusia mewacanakan tata cara hidupnya hingga kini. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, untuk pertama kalinya ‘etika’ dibahas oleh para filsuf Yunani dengan kata lain dibakukan untuk memberikan petunjuk serta arahan bagaimana menjalani kehidupan yang baik dan benar; bagaimana suatu kehidupan itu lebih bernilai dan bermakna bagi sesama.

Tak berlebihan jika Haji Abdul karim Amrullah yang familiar dengan Buya Hamka pernah mengatakan “Jika hidup hanya sekadar hidup, kera di rimba juga hidup, kalau kerja sekedar kerbau di sawah juga bekerja”.

Pembahasan etika dalam Alquran dan Hadis sendiri tidaklah secara rinci dibahas. Meski demikian, bukan berarti sumber utama islam mengabaikan etika begitu saja, tapi sebisa mungkin umat Islam mampu menginterpretasi konsep-konsep moral yang terkandung dalam Alquran dan as-sunnah menjadi pemikiran teoritis dan kritis terkait moral untuk menjawab dinamika persoalan yang terjadi.

Dalam buku berjudul “Etika Sufi Ibnu Arabi”, Mukhlisin Sa’ad memberikan penguraian lebih jauh terkait konsep etika yang digagas Ibnu Arabi. Jika Majid Fakhry dalam bukunya Ethical Theories in Islam mengklasifikasikan empat macam tipe etika dalam Islam (oralitas skriptural, teologis, filosofis, religious), Sa’ad justru memberikan penambahan satu tipe lagi yaitu etika sufi

Jika ditilik secara umum, sebenarnya masuk dalam kategori etika religius. Namun, itu tidak sepenuhnya benar, karena ajaran kaum sufi yang berakar pada pengalaman rohani turut andil memberikan implikasi etis dan mempunyai signifikansi moral.

Baca Juga  Lebih Utama Mana Wiridan atau Belajar?

Dengan demikian, etika yang berkembang dalam lingkungan para sufi patut diberi ruang dan digali lebih jauh karena mempunyai khas tipologinya tersendiri (p. 5). Hal ini layak disebut sebagai sistem etikanya melalui pencarian Tuhan sebagai puncak daripada etikanya dengan beraneka macam konsepnya, dari ittihad, hulul, hingga wahdat al-wujud dan sejenisnya (p. 42).

Dalam anggapan umum Ibnu Arabi dikenal sebagai sufi besar yang corak tasawufnya unitarian dengan konsep wahdat al-wujud-nya, di mana mahluk dipandang identik dengan Khaliq, cenderung mengabaikan hukum-hukum keagamaan. Ajaran semacam ini dipandang antinomian dan tidak mengindahkan moralitas.

Sebagaimana dituduhkan Ibnu Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Muhammad Yusuf Musa, dan Taufik at-Tawil yang menyatakan tasawuf unitarian dipandang antinomian yang dikatakan cenderung eksesif dan abai hukum-hukum keagamaan, dan tidak mengindahkan moralitas. Buku ini menolak keabsahannya.

Bagaimana pun Ibnu Arabi menyuruh para penempuh jalan sufi untuk tidak abai terhadap syariah. Ibnu Arabi mengajak para penempuh jalan sufi untuk tidak abai terhadap syariah. Dlam banyak karyanya, Ibnu Arabi dalam membahas segala pokok permasalahan, mulai dari ontologi-metafisikanya, epistemologi hingga aksilogi atau etika dan estetika, tidak pernah luput untuk menghadirkan syariat sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran

Lebih lanjut, Sa’ad dalam buku ini menawarkan gagasan bagaimana sebenarnya wahdat al-wujud Ibn Arabi ini menjadi muara konsep etikanya. Hingga sejauh mana sosok pemikiran Ibnu Arabi dapat dihadirkan kembali kontribusi dan relevansinya konteks sekarang. Mengingat akhir-akhir ini etika terus mengalami degradasi di setiap lini kehidupan.

Jika peta pemikiran etika Sokrates yang spritualistis cenderung spiritualistik-metafisik, pemikiran Plato yang idealistik sehingga kurang berpijak pada kenyataan, dan pemikiran Aristoteles cenderung mekanistis-biologis. Maka Ibnu Arabi menjadikan wahdat al-wujud sebagai pondasinya dengan memberikan penekanan yang kuat pada perlunya harmoni, kesamaan (musawah), kesepahaman (kalimatun sawa’), moderasi (wasathiyah), toleransi (tasamuh) dan keselarasan dalam kehidupan bersama dimana semua dipandang berasal dari Allah dan akan kembali padaNya.

Baca Juga  Hingga Ujung Nyawa [2]: Secercah Sinar Harapan

Wahdat al-wujud pada dasarnya bahwa wujud pertama-tama adalah tunggal, satu, atau esa. Dengan kata lain bahwa hanya Allah yang dapat disebut wujud secara haqiqi, tidak ada wujud disebut wujud kecuali Allah itu sendiri. Tidak hanya menekankan keesaan wujud, melainkan menekankan keanekaan realitas.

Sedangkan alam fenomenal yang beraneka ragam ini hanyalah manifestasi (tajalli) diri-Nya. Terjadinya tajalli Tuhan pada alam karena dasar cinta untuk dikenal dan ingin melihat diriNya melalui alam. Dengan demikian Alam bagi Ibn Arabi adalah cermin dari Allah (wujud). Ibarat kata seseorang berdiri di depan banyak cermin yang ada di sekelilingnya, Tuhan adalah esa tetapi bentuk atau gambarNya banyak, sebanyak cermin yang memantulkan bentuk atau gambar itu (p. 74).

Selanjutnya, alam empiris yang serba-ganda ini berada dalam wujud yang pecah-pecah karena tidak mampu menampung citra Tuhan secara utuh dan sempurna. Alam ini dalam bentuk tanpa ruh atau laksana cermin buram yang belum mampu memantulkan gambar Tuhan secara sempurna.

Kejelasan dan kejernihan gambar bergantung pada kualitas kebeningan cermin itu, semakin bening suatu cermin, semakin kentara kejelasan gambar yang dipantulkannya. Citra Tuhan baru terlihat sempurna dan utuh pada Adam (manusia) sebagai cermin yang terang (p. 75) karena tidak hanya terdiri dari jasad semata melainkan juga ruh yang bersemayam di dalamnya.

Pembicaraan mengenai jiwa selalu hadir dalam setiap konsep etika, baik oleh filsuf, sufi, atau cendekia lainnya. Entah itu sebagai sumber dari prinsip moral atau sebagai aksesoris semata. Bagi Ibn Arabi manusia merupakan mahluk yang berada di antara dua sisi yang saling berlawanan, yakni tubuh bagian dari alam, (at-thabi’ah) yang gelap dan ruh yang bercahaya.

Baca Juga  Mengatasi Keraguan dalam Salat dengan Salat Ihtiyath

Sebagaimana dalam syairnya (p. 84):

والروح نور والطبيعة ظلمة * وكلاهما فى عينه ضدان

Jiwa terletak antara yang gelap dan yang bercahaya. Sehingga jiwa sangat mungkin tumbuh dan berkembang sesuai dengan hubungan antara keduanya. Di satu sisi jiwa manusia berpotensi mengungguli malaikat dengan menerima semua sifat Tuhan dalam medium yang begitu lengkap. Di sisi lain, ia juga berpotensi turun derajat yang bahkan di bawah derajat binatang sehingga hilang derajat kemanusiaannya.

Kendati demikian Ibn Arabi mengatakan jiwa sebagai sumber prinsip moral yang bisa dicapai, manusia karena jiwa yang dituntut untuk bersifat dengan akhlak yang mulia (p. 273).

Argumen-argumen yang digunakan begitu memukau, konsisten dan komprehensif dengan kokoh berpijak pada wahdat al-wujud.. Sekali lagi cakupan konsep etikanya hingga praksisnya tidak lepas dari konsep wahdat al-wujudnya

Dengan tetap berpegang teguh pada kesatuan yang beragam “segala sesuatu berasal dari dan kembali kepadaNya” sehingga buah pikirnya dapat menjelma ke berbagai bentuk. dalam bentuk etika keilmuan misalnya muncul kemungkinan korelasi agar tidak ada lagi terjadi eksploitasi alam atas nama keilmuan yang hanya memuaskan keserakahan serta hawa nafsu tanpa peduli dampak negatif terhadap sekitar.

Buku ini akan menjadi pilihan yang tepat untuk anda yang ingin mengenal lebih dekat dengan Ibnu Arabi khususnya dalam etika sufinya yang hingga saat ini masih ditemukan signifikansi dan relevansinya untuk kembali digaungkan dalam rangka menjawab persoalan tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan. [AA]

Ali Yazid Hamdani Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta