Mukhammad Zamzami Santri PP Mambaus Sholihin Gresik; Executive Editor Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Tentang Kritik Muhammad Abduh terhadap Tasawuf

2 min read

Hingga akhir hayatnya, Muhammad Abduh [1849-1905] tetap mempunyai kecintaaan mendalam pada sufisme sejati, tetapi dia menentang keras apa yang dipandangnya sebagai ragam manifestasi sufisme yang sesat di Mesir pada akhir abad ke-19.

Abduh meyakini bahwa sufisme yang dipraktikkan pada zamannya sudah menyimpang jauh dari agama Islam yang autentik.

Dalam majalah al-Waqāi‘ al-Misrīyah, Abduh melancarkan kritik terbuka kepada tarekat-tarekat sufi “tertentu” karena telah bersalah memperkenalkan ragam bid‘ah yang tidak bisa diterima di masjid-masjid dan berperan dalam kemerosotan masyarakat.

Ekspresi khas Abduh itu dituangkan dalam sebuah artikel berjudul “Ibthāl al-Bida‘ min Wizārat al-Awqāf al-‘Umūmīyah” [artikel ini dapat ditelusuri dalam kitab al-A‘māl al-Kāmilah li Muhammad ‘Abduh—disunting oleh Muhammad ‘Imārah], di mana dalam artikel tersebut Abduh mendukung usaha Kementerian Wakaf Umum di Mesir—di Indonesia bisa disebut Kementerian Agama—untuk melarang beberapa praktik sufi yang berlebihan di masjid Imam al-Husain dan Sayyidah Zainab di Kairo.

Kementerian Wakaf Umum tersebut telah menerima banyak aduan dari manajemen masjid al-Husain mengena zikir kaum Sa‘diyyah—cabang tarekat Rifā‘īyah yang dianggap oleh para pembaru Muslim modern sebagai kenyataan yang kontroversial (antinomi) yang berbahaya.

Abduh menceritakan konten dari aduan yang mengkritik kaum Sa‘diyyah ini sebagai berikut:

“Dalam zikir bersama kaum Sa‘diyyah yang dilakukan di masjid al-Husain hari Selasa, nama Allah disebut-sebut dengan iringan pukulan rebana… Para pengunjung makam Imam al-Husain dan murid-muridnya mengecam dan menentang tradisi ini, dengan mengatakan bahwa hal tersebut dilarang oleh syariah, dan pemerintah harus mencegahnya dengan mengeluarkan perintah pelarangannya”.

Kementerian meminta fatwa kepada Syekh al-Azhar, Mufti Mesir Muhammad al-Mahdi al-‘Abbāsī, yang menetapkan bahwa tidak hanya memukul rebana dalam masjid yang dilarang, tetapi seluruh keributan yang mengganggu orang-orang yang sedang salat, termasuk mengeluarkan suara dalam zikir. Dia juga mengecam antara pemuda dan pemudi dalam masjid.

Baca Juga  Dibayar Tuntas di Padang Arafah

Abduh menunjukkan kesetujuannya atas aturan-aturan untuk menghentikan seluruh deviasi terhadap syariah, baik yang dilakukan oleh kaum Sa‘diyyah ataupun sufi lainnya, khususnya kelompok Maghribīyah yang merayakan maulid Sayyyid Husein dengan menanggalkan pakaian-pakaian mereka dan berjalan di atas api dalam keadaan ekstatik di hadapan banyak penonton.

Abduh berharap pelarangan bidah yang pantas dicela ini akan menyebar dari Kairo hingga ke daerah pedalaman. Iklim opini publik saat itu tampaknya mau menerima ide dari para pembaru Muslim modern.

Abduh menyatakan bahwa Islam adalah agama akal dan kemajuan yang sesuai dengan dunia modern, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Dalam pemikiran keagamaan yang seperti ini, tidak ada ruang untuk hal-hal irasional dan dunia golongan orang suci. Akibatnya, keramat-keramat (karāmah) mereka pun ditolak.

Tampaknya Abduh juga berhati-hati dalam menyikapi keramat-keramat yang dimiliki orang suci/wali, dan yakin, bahwa masyarakat yang bodoh telah terjerumus dalam keyakinan yang salah dalam masalah keramat ini. Mereka telah berlebihan ketika mereka menganggap bahwa keramat adalah bukti profesi seorang sufi, di mana ia harus besaing dengan sufi lainnya.

Abduh tidak menunjukkan komitmen yang jelas dalam menyikapi kemungkinan terjadinya keramat orang-orang suci, tetapi ia mengakui bahwa sebagian besar teolog Asy‘arīyah mengakui keramat-keramat tersebut mungkin saja terjadi. Sedangkan sebagian besar ulama Muktazilah menolak kemungkinan terjadinya.

Abduh juga melihat ada bahaya besar yang muncul dari ragam kesalahpahaman terhadap ajaran-ajaran sufisme. Bahkan orang-orang yang telah diajari aspek-aspek eksoterik agama dengan baik, belum mampu memahami signifikansi yang riil dari ungkapan-ungkapan sufi, karena ungkapan-ungkapan tersebut dibungkus dalam simbolisme dan istilah-istilah teknis. Dengan demikian, ia menegaskan bahwa umat Muslim yang hanya membaca makna eksoterik (zahir) dari sebuah teks, bisa tersesat.

Baca Juga  [Cerpen] Asyiknya Masa Depan Tahun 2050

Saat menjadi mufti di Mesir, Abduh sempat melarang peredaran buku-buku Ibn Arabi. Baginya, buku Ibn Arabi dari luar kelihatan bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, sebagaimana yang konten dalam kitab al-Insān al-Kāmil (Manusia Paripurna/Sempurna) karya Abdul Karīm al-Jīlī. Dalam sub-judul “Hiwār fī al-Tasawwuf wa al-Walāyah” dalam buku al-A‘māl al-Kāmilah, Vol. 3 halaman 523, Abduh menyatakan:

Makna eksterior/zahir dalam buku-buku para Sufi-Falsafi itu bukan interpretasi yang sebenarnya dimaksudkan, dan ungkapan-ungkapan yang menggunakan makna-makna eksterior ini hanya dapat diketahui oleh orang yang mengetahui kuncinya… ketika aku berwenang mengawasi pers, aku melarang penerbitan buku al-Futūhāt alMakkīyah karya Ibn Arabi dan buku-buku sejenisnya, karena buku-buku ini hanya dapat diketahui maknanya oleh golongan mereka sendiri.

Alasan Abduh melarang publikasi kitab Ibn Arabi bukan menunjukkan ketidaksetujuan yang serius atas karya besar Ibn Arabi, melainkan kekhawatiran akan pengaruhnya yang menyesatkan orang-orang yang tidak mampu menemukan makna-makna yang tersirat.

Penghargaan personal Abduh kepada Ibn Arabi tampak dalam tulisan Fatwā, di mana Abduh mengutip tafsir-tafsir atas surah al-Baqarah ayat 186 dari kitab al-Futūhāt, yang menentang tawassul dalam bentuk apapun karena Allah selalu dekat.

Mukhammad Zamzami Santri PP Mambaus Sholihin Gresik; Executive Editor Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya