Nur Rofiah Dosen Pascasarjana Prodi Ilmu Tafsir Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (Institut PTIQ) Jakarta, dan Founder Ngaji KGI (Keadilan Gender Islam)

Larangan Islam atas Pemerkosaan dalam Perkawinan

4 min read

Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 25-27 April 2017 di Pondok Jambu, Cirebon, Jawa Barat, telah menegaskan bahwa hukum kekerasan seksual, baik di luar maupun di dalam perkawinan, adalah haram. Sikap keagamaan ini menjadi tonggak penting dalam wacana Islam tentang pemerkosaan dalam perkawinan.

Sepintas istilah “pemerkosaan dalam perkawinan” mengandung kontradiksi makna karena hingga kini pemerkosaan masih diyakini hanya mungkin terjadi di luar perkawinan. Namun kekerasan seksual jenis ini sesungguhnya banyak menimpa para istri di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Lembaga swadaya masyarakat Indonesia yang menangani kasus kekerasan pada istri menemukan banyak kasus pemerkosaan dalam perkawinan.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK menemukan bentuk kekerasan seksual kepada istri meliputi pemaksaan hubungan sesuai selera suami, misalnya istri dipaksa anal seks, oral seks, atau memaksa memasukkan benda ke vagina istri, pemaksaan hubungan saat istri tertidur atau sedang haid, juga intimidasi lisan dan fisik dalam rangka pemaksaan hubungan seksual.

Pemerkosaan dalam perkawinan dapat dipahami sebagai hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang berlangsung tanpa persetujuan bersama, baik korban dalam kondisi sadar atau tidak, dan baik disertai ancaman atau kekerasan fisik maupun tidak.

Dalih Agama
Pemerkosaan dalam perkawinan muncul akibat relasi seksual suami-istri yang timpang. Misalnya pemahaman bahwa hubungan seksual adalah kewajiban istri atau hak suami semata, bukan kewajiban sekaligus hak keduanya. Akibatnya suami dianggap boleh memaksa untuk mendapatkan haknya.

Sebaliknya istri dilarang menolak bahkan ketika sakit, misalnya. Ketimpangan relasi ini terkait erat dengan konsep ketaatan mutlak istri kepada suami yang didasarkan pada Q.S. al-Nisa/4:34 tentang kepemimpinan suami atas istri, Q.S. al-Baqarah/2:223 yang mengumpamakan istri sebagai ladang suami, dan riwayat hadis tentang laknat malaikat kepada istri yang menolak berhubungan seksual dengan suami.

Dalam fikih perkawinan dipahami sebagai “aqd al-tamlīk” yang memberikan hak kepada suami untuk memiliki istrinya, atau “aqd al-ibāhah” yang membolehkan suami berhubungan seksual dengan istrinya. Sebagai pemilik, suami merasa berhak berhubungan seksual dengan istri sesuai kehendaknya. Penolakan istri berarti penghalangan atas apa yang telah diperbolehkan agama.

Baca Juga  Mengamini Gerakan Muda Yang Berperan Aktif Dalam Menghadapi Isu Radikalisme

Taat Mutlak Hanya kepada Allah
Konsep ketaatan mutlak istri pada suami sesungguhnya bertentangan dengan ajaran tauhid yang melarang keras suami dan istri untuk memberikan ketaatan mutlak kepada selain Allah (lā ilāha), baik kepada pasangan, harta, tahta, maupun kesenangan duniawi lainnya. Tauhid juga berarti bahwa suami dan istri hanya boleh memberikan ketaatan mutlak kepada Allah (illā Allah).

Relasi patron-klien akibat ketaatan mutlak juga bertentangan dengan amanah melekat suami dan istri sebagai penanggung jawab di bumi (khalīfah fī al-ard) yang mewajibkan keduanya bekerja sama sebagai patner dalam mewujudkan dan melestarikan kemaslahatan juga mencegah dan mengatasi kerusakan bagi seluruh makhluk-Nya agar lahir kehidupan semesta yang penuh rahmat. Allah menegaskan relasi kemitraan dalam Q.S. at-Taubah/9:71.

Taat mutlak hanya kepada Allah berarti meletakkan segala jenis ketaatan lain di bawah ketaatan kepada Allah, yakni sejauh tidak bertentangan dengan perintah Allah. Menurut Ahmad Wahib hanya dalam satu hal manusia tidak independen, yaitu terhadap ajaran Islam. Allah tidak mengajarkan hal-hal buruk atau hal yang berdampak buruk bagi manusia. Komitmen pada Allah atau pada ajaran Islam berarti pula komitmen pada kebaikan.

Taat kepada Allah adalah taat pada nilai kebaikan itu sendiri. Suami dan istri pada prinsipnya hanya boleh taat kepada kebaikan. Istri dilarang taat kepada suami dalam hal maksiat, bukan menolak taat kepada suami melainkan menolak taat kepada maksiat. Sebaliknya, suami pun wajib taat kepada istri jika istri mengajak kebaikan, bukan taat kepada istri melainkan pada kebaikannya.

Perintah Allah untuk Berbuat Baik
Perkawinan mesti memperkuat suami-istri yang beriman sebagai mitra dalam mewujudkan kebaikan dan mencegah keburukan sebagai sesama pemegang amanah kekhalifahan. Iman suami-istri kepada Allah mencegah keduanya untuk saling menyengsarakan, namun sebaliknya mendorong keduanya bekerja sama mewujudkan kebaikan bagi seluruh pihak dalam keluarga, dan kesejahteraan keluarga bagi masyarakat, negara, dan alam semesta raya.

Baca Juga  Kita Sibuk Memuji Aisyah Hingga Lupa Ibunda Nabi, Aminah

Tujuan perkawinan adalah mewujudkan ketenteraman jiwa (sakinah) yang hanya bisa diperoleh melalui relasi atas dasar cinta kasih, bukan relasi kekuasaan (Q.S. al-Rūm/30:21).

Tujuan ini memerlukan empat pilar kokoh yang dirumuskan oleh pakar hukum Islam Faqihuddin Abdul Kodir sebagai berikut: suami dan istri mesti sama-sama meyakini perkawinan sebagai janji kokoh (Q.S. al-Nisā’/4:21), meyakini suami atau istrinya sebagai pasangannya (Q.S. al-Rūm/30:21), saling memperlakukan pasangannya secara bermartabat (Q.S. al-Nisā’/4:19), dan menyelesaikan persoalan dalam perkawinan melalui musyawarah (Q.S. al-Baqarah/2:233).

Perkawinan memang membolehkan hubungan seksual suami-istri namun tetap melarang cara-cara yang tidak bermartabat sebagaimana yang terjadi dalam pemerkosaan. Pemerkosaan dalam perkawinan bertentangan keras dengan nilai-nilai perkawinan dalam Islam di atas.

Pertama, tidak adanya persetujuan salah satu pihak yang bertentangan dengan prinsip musyawarah. Kedua, jika disertai pemaksaan dan kekerasan, maka bertentangan dengan keharusan memperlakukan istri sebagai pasangan yang mesti diperlakukan secara bermartabat (mu’āsyarah bi-ma’rūf). Ketiga, berakibat kerusakan sehingga bertentangan dengan ketenangan jiwa (sakīnah) sebagai tujuan perkawinan.

Berdasarkan prinsip dasar bahwa suami dan istri mesti bekerja sama dalam kebaikan dan mencegah keburukan, maka kepemimpinan dalam keluarga (Q.S. al-Nisā’/3:34) menekankan suami-istri untuk bahu-membahu memenuhi nafkah dan menjaga kehormatan keluarga.

Perumpamaan istri sebagai ladang bagi suami (Q.S. al-Baqarah/2:223) adalah perintah bagi keduanya untuk saling memenuhi kebutuhan fisik dan non-fisik pasangannya dengan baik agar bisa melahirkan generasi yang berkualitas. Hadis tentang ancaman laknat malaikat mengandung pesan umum agar suami dan istri tidak mengabaikan kebutuhan seksual pasangannya apalagi jika sedang tidak ada halangan sama sekali.

Perlindungan Hukum Indonesia
Negara-negara Islam melarang keras zina yaitu hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan. Mereka menganggap pemerkosaan di luar perkawinan disamakan dengan zina. Akibatnya, korban pemerkosaan diperlakukan sama dengan pelaku zina.

Baca Juga  Warisan Gus Dur Untuk Gerakan Perempuan (Bag-1)

Pemerkosaan dan zina sesungguhnya mempunyai unsur utama yang sangat berbeda. Pemerkosaan adalah berhubungan seksual tanpa persetujuan atau persetujuan bersama. Jadi, unsur utamanya adalah tidak adanya persetujuan, baik tanpa pemaksaan misalnya karena dalam kondisi tidak sadar akibat pengaruh obat, guna-guna, atau lainnya, maupun dengan pemaksaan misalnya dalam kondisi sadar. Sementara zina adalah berhubungan seksual tanpa ikatan perkawinan. Jadi, unsur utama zina adalah tanpa ikatan perkawinan.

Perbedaan unsur utama antara zina dengan pemerkosaan menyebabkan beberapa kondisi ini mungkin terjadi. Pertama, pemerkosaan bisa terjadi di luar perkawinan (terjadi bersama zina), maupun di dalam perkawinan (tidak terjadi bersama zina). Kedua, zina hanya mungkin terjadi di luar perkawinan, baik dilakukan dengan persetujuan, maupun dengan cara pemerkosaan.

Dengan demikian, pelaku pemerkosaan di luar perkawinan melakukan dua pelanggaran sekaligus yaitu zina dan pemerkosaan sehingga hukumannya berlapis. Sebaliknya, korban pemerkosaan tidaklah melakukan pelanggaran sama sekali bahkan haknya telah dilanggar sehingga tidak boleh dihukum bahkan berhak atas kompensasi. Korban pemerkosaan tidak bisa diperlakukan seperti pelaku zina sehingga tidak boleh dikawinkan dengan pemerkosanya, dicambuk 100 kali, apalagi dirajam (dilempar batu sampai mati) ketika berstatus menikah.

Cara pandang yang menyamakan pemerkosaan dengan zina ini menunjukkan rendahnya kesadaran tentang adanya pemerkosaan di luar perkawinan. Jika kesadaran tentang adanya pemerkosaan di luar perkawinan saja masih sangat rendah, maka apalagi kesadaran tentang adanya pemerkosaan dalam perkawinan.

Undang-Undang No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga melarang dan menghukum pemerkosaan dalam perkawinan sebagai bagian dari kekerasan seksual dalam rumah tangga.

Jadi sudah jelas pemerkosaan dalam perkawinan bertentangan dengan ajaran Islam dan hukum positif di Indonesia. Dengan pemahaman yang tepat, kita semua bisa mencegah pemerkosaan dalam perkawinan bersama-sama. [MZ]

Nur Rofiah Dosen Pascasarjana Prodi Ilmu Tafsir Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (Institut PTIQ) Jakarta, dan Founder Ngaji KGI (Keadilan Gender Islam)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *