Dengan menggunakan bahasa Maluku Utara yang sangat unik, seorang laki-laki menceritakan banyak hal tentang pengalamannya selama KKN Kolaborasi Nusantara di Ternate Maluku Utara. Pada saat itu, saya dengan seseorang laki-laki ini KKN-nya bersamaan tetapi tempatnya berbeda. Saya di Desa Tacim, Kecamatan Sahu, sedangkan dia di Desa Bangkit Rahmat, Kecamatan Jailolo Selatan.
Namanya Nur Syamsyi Dhuha, biasa dipanggil Mas Acul. Wajah dengan usianya terbilang sangat berbeda, karena dia terkenal dengan sebutan baby face yang artinya berwajah bayi. Ia menceritakan bahwa KKN Kolaborasi Nusantara yang diadakan oleh UIN Sunan Ampel Surabaya yang berkolaborasi dengan IAIN Ternate, IAIN Gorontalo, dan IAIN Manado mengangkat tema terkait Moderasi beragama yaitu “Harmoni Keragaman: Memperkuat Kehidupan Sosial Budaya dan Ekonomi di Maluku Utara”.
Sambil menikmati kopi di gazebo fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, Acul menceritakan juga bahwa desa tempat KKN-nya terdapat dua agama, yaitu Islam dan Kristen. Begitu pula dengan sukunya yang sangat beragam seperti, Loloda, Gamkonora, Wayoli, Sahu, dan lain-lain. Ia menuturkan bahwa tema yang diangkat pada KKN Kolaborasi Nusantara ini bila diimplementasikan di desanya sangatlah tepat.
“Tema KKN Kolaborasi Nusantara memberikan pembelajaran dan wawasan yang sangat penting dalam beragama khususnya di daerah yang agamanya majemuk, karena berguna untuk meminimalisir konflik antarumat beragama dan menjadi harapan dalam upaya memperbaiki dan menjaga kerukunan antarumat beragama. Oleh karena itu, tema ini sangat cocok jika diimplementasikan di desa saya,” ungkapnya.
Mendengarkan penjelasannya, saya juga teringat bahwa di tempat KKN saya ada lembaga pendidikan yaitu SMKS Fomarimoi yang siswanya tidak hanya dari latar belakang agama Islam saja tetapi ada tiga agama, yaitu Islam, Kristen, dan Nasrani. Kemudian saya menceritakan salah satu praktik moderasi beragama di tempat saya.
“Kalau di tempat saya tema moderasi beragama tersebut bisa diimplementasikan di salah satu lembaga pendidikan, yaitu SMKS Fomarimoi. Pengimplementasiannya melalui sosialisasi moderasi beragama di SMKS Fomarimoi, dan saya berkesempatan menjadi narasumber untuk mengisi sosialisasi tersebut dengan mengambil tema Penguatan Moderasi Beragama untuk Menghasilkan Nilai-Nilai Integritas, Solidaritas, dan Tenggang Rasa,” terang saya.
Mendengarkan penjelasan saya, Acul kaget karena ternyata ia juga menjadi narasumber untuk mengisi sosialisasi tentang moderasi beragama di SMP dengan mengambil tema pentingnya bertoleransi di lingkungan sekolah.
Hal tersebut menunjukkan bahwa UINSA mampu mencetak mahasiswa yang bisa memberikan edukasi, bahwasannya toleransi, menghormati, saling menolong dan menjaga itu sangatlah penting untuk kerukunan dan kedamaian antarumat beragama dan bisa menciptakan rasa cinta tanah air NKRI.
Karena waktu sudah menunjukkan makan siang, saya dengan Acul akhirnya pergi ke kantin. Setelah sampai di kantin tampak dua orang teman saya sedang berbincang-bincang.
Di sebelah sisi kanan seorang laki-laki bernama Alif, yang sedang menjabat sebagai ketua Himaprodi Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Di sebelah sisi kiri seorang perempuan bernama Anna, yang baru saja pulang dari student exchange di Malaysia. Kemudian kita memesan makanan dulu dan duduk dengan mereka berdua.
Saya mencoba memantik diskusi terkait moderasi beragama, dan malah saya yang tercengang dengan respons mereka berdua. “Wah, kalau terkait itu saya ingin bercerita mbak. Waktu saya student exchange di IIUM (International Islamic University Malay) UINSA juga mengangkat tema moderasi beragama,” celetuk Anna. Dalam hati, saya bergumam, “Kayaknya UINSA benar-benar menerapkan dan selalu menggunakan moderasi beragama.”
Kemudian Anna melanjutkan ceritanya, “Mahasiswa di sana tuh toleransinya tinggi banget dan saling menghargai, Mbak. Begitu pun dengan kebijakan kampusnya. Di sana ada yang dari Cina dan India, bahkan rasnya juga ada yang dari Bangladesh dan Afrika. Di sana ada makanan muslim, Cina, Eropa—semuanya ada. Dan mereka juga tidak mempermasalahkan terkait pakaian. Makanya, di sana damai banget, Mbak, lantaran implementasi toleransinya benar-benar dijalankan.”
Tiba-tiba Alif dengan semangat juga menceritakan bahwa di Program Studi Studi Agama-Agama (SAA), pada semester tiga terdapat mata kuliah tentang empat agama, yaitu Hindu, Konghucu, Kristen, dan Yahudi. Untuk mempermudah tugas di semester tiga itu, Alif selaku ketua Himaprodi Studi Agama-Agama mempunyai inisiatif program kerja yang sangat bermanfaat.
“Karena Program Studi SAA basic-nya mempelajari agama-agama yang ada di dunia, jadi Himaprodi mempunyai program untuk mengadakan kunjungan ke tempat ibadah di semua agama, agar mengetahui secara langsung bagaimana proses-proses orang beragama itu beribadah. Programnya tidak hanya berkunjung saja, tetapi kita juga berkenalan dan menjalin silaturahmi, karena prinsip dari Program Studi SAA adalah melihat manusia bukan dari background agamanya, tetapi dari background kemanusiaannya, sehingga itu akan menciptakan kedamaian.”
Dalam hati, saya bergumam, “Moderasi beragama itu sangatlah penting, apalagi di lingkup Perguruan Tinggi Keagamaan. Dengan melakukan empat indikator, maka akan tercapai kemaslahatan kehidupan beragama, berbangsa, hidup yang damai dan toleran menuju Indonesia maju.
“Apalagi moderasi beragama sejatinya adalah menciptakan insan-insan yang memahami agama secara baik, mendalam, dan mengekspresikannya dengan cara baik. Terutama bagi orang yang berilmu, ia bisa mengekspresikan keilmuannya dalam kehidupan bermasyarakat, berhati-hati, dan selalu menekankan aspek keadilan, keseimbangan, serta cinta kerukunan dan kedamaian.”
Di titik inilah mengapa moderasi beragama itu sangat penting bagi seorang mahasiswa. Dengan adanya sikap moderasi beragama tersebut, diharapkan cara beragama mahasiswa dapat diimplementasikan dengan sikap yang adil dan jalan tengah atau moderat. [AR]