Islam dan Multikulturalisme: Bisakah Kita Hidup dengan Seribu Identitas?
Islam mengajak umat beriman untuk memandang koeksistensi sebagai sebuah tindakan iman, sebuah pengakuan akan keagungan Tuhan dalam keragaman manusia.
Islam mengajak umat beriman untuk memandang koeksistensi sebagai sebuah tindakan iman, sebuah pengakuan akan keagungan Tuhan dalam keragaman manusia.

Buku ini memberikan pemahaman Islam dapat menjadi dasar bagi masyarakat yang damai dan harmonis.

Inti dari hipotesis pemikiran pluralisme Hick bertumpu pada perbedaan antara Yang Nyata an sich (Yang Nyata itu sendiri) dan Yang Nyata yang dialami secara manusiawi (Yang Nyata menurut pandangan kita).

Pluralisme sangat penting bagi Indonesia sebagai katalisator sistem demokrasi, memastikan kelancaran demokrasi dan hidup berdampingan secara damai di antara individu-individu dalam satu sistem

Pluralisme dalam sikap keagamaan adalah dengan mengakui bahwa semua agama benar dalam keyakinannnya masing-masing dan dalam hal keimanan merupakan hak prerogratif Allah.

Nabi yang menjadi utusan Allah untuk menyampaikan risalah-Nya diingatkan agar tidak perlu bersedih hanya karena adanya orang-orang yang tidak membenarkan risalahnya dan tidak beriman kepada Allah.

Mengobati konflik berwajah agama sangat sulit dilakukan, karena konflik ini menimbulkan luka yang mendalam. Tindakan preventif yang perlu dilakukan adalah mengantisipasi gerakan yang tumbuh dan berkembang dengan menyiapkan regulasi dan perundang-undangan.

Jika ditinjau dari perspektif historis, kekerasan dan intoleransi selama ini justru dilakukan oleh pemeluk agama-agama monoteis, baik Yahudi, Kristen maupun Islam. Pertanyaannya, mengapa pemeluk monoteis justru inheren dengan intoleransi dan kekerasan?

Benarkah NU telah tampil sangat reaktif terhadap ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI) dan Prabowo (sebagai calon Presiden 2019), yang dipandang mengancam kepentingannya? Benarkah kaum Nahdliyyin tidak mencerminkan diri sebagai barisan yang pluralis?

Klaim bahwa pluralisme di tubuh NU adalah sebuah “mitos” dibangun di atas data. Jika hendak meruntuhkan “mitos” ini, tidak ada cara ilmiah lain kecuali dengan adu data atau kritik pendekatan/metodologi surveinya.
